Rabu, 29 Agustus 2012

sayap sayap cinta


Sayap – Sayap Cinta Siang itu terik panas matahari masih memanggang bumi. Agak keburu – buru, Iqbal membelokkan mobilnya menuju halaman rumah Pak Hanif. Keputusannya saat itu benar – benar sudah bulat untuk memenuhi syarat yang diajukan Mahmudah jika dia memang benar – benar ingin memiliki gadis itu. Saat itu suasana depan rumah Pak Hanif terlihat sepi. Sama sekali tidak terdengar suara anak panti yang sedang mengaji. Bisa jadi karena masih siang sehingga Haris dan Mahmudah belum mengajar mengaji. Walau rumah Pak Hanif sangat sederhana, namun tetap terlihat asri banyaknya tetumbuhan yang tumbuh di kanan dan kiri halaman rumah itu. Hanif sendiri tidak begitu memperhatikan keadaan sekitar. Saat itu pikirannya benar – benar telah tegang karena ingin menemui Pak Hanif. Untuk itu, begitu ia memarkirkan mobilnya dihalaman rumah Pak Hanif yang cukup luas itu, iqbal segera turun dari mobilnya. Saat itu terlihat Haris tengah keluar dari dalam rumahnya. Iqbal merasa sikap Haris yang biasanya ramah itu sekarang lain. Kali ini sahabatnya itu memandang sinis. Diam – diam Iqbal sempat tagang juga. Bagaimanapun juga Haris adalah kakak kandung Mahmudah yang sudah semestinya dihormati. “ Bisa aku ketemu sama bapak, Har ?” “ Bisa saja,” sahut Haris singkat. Bagaimanapun juga dia sempat marah tatkala dia melihat Iqbal tengah berpeluk – pelukan mesra dengan Novi di kampusnya. Hal inilah yang membuat Haris sedikit berubah sikap. “ Ayo masuk!” ujar Haris lagi singkat. Tanpa banyak tanya Iqbal segera mengekor Haris masuk kedalam rumahnya. Suasana dalam rumah itu sendiri sepi. Haris lalu mempersilahkan tamunya duduk, lalu ia sendiri segera ke ruang tengah. Namun tidak lama. Selang beberapa saat kemudian, Haris kembali muncul di ruang tamu dengan diikuti ayahnya. “ Assalamu’alaikum, pak ..” sapa Iqbal ramah. “ Wa’alaikumsalam..” sahut Pak Hnif ramah. “Bapak dengar nak Iqbal ini ingin ketemu dengan bapak ? Apa benar, nak Iqbal ?” selanjutnya lagi sembari meletakkan pantatnya di sebuah kursi di ruang tamu. Haris sendiri juga ikut duduk tak jauh dari samping ayahnya. “ I...Iya, Pak, “ sahut Iqbal kaku. “ Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya, nak Iqbal ?” ujar Pak Hanif tetap ramah. “ Ehm... saya .... saya...,” Iqbal menelan ludahnya beberapa kali. Entah kenapa mendadak hatinya tegang bukan main. Kata – kata yang sedari tadi telah disusun sewaktu menuju rumah Pak Hanif mendadak hilang entah kemana. “ Katakan saja terus terang, nak Iqbal. Tidak usah malu – malu. “ “ Iya, pak.” Iqbal masih belum juga mengeluarkan maksud hatinya. Tampak dia hanya menghela nafasnya berulang – ulang. “ Ada apa sebenarnya, nak Iqbal ? tidak usah malu – malu mengatakanya sama bapak, nak Iqbal. Katakan saja terus terang.” Ujar pak Hanif lagi. “ I...iya pak” Iqbal menelan ludah sebentar. Haris yang sedikit banyak tahu maksud kedatangan sahabatnya itu juga ikut memandangi sahabatnya itu seksama. “ Begini pak, ...” lanjut Iqbal kembali membuka suara. “ Terus terang, kedatangan saya kemari ini hanya ingin meminta restu dari bapak...” “ Restu? Restu apa nak Iqbal ?” tanya Pak Hanif belum tahu maksud ucapan tamunya. “ Ssss...saya mencintai Mahmudah, pak....” hanya itu yang lekuar dari mulut Iqbal. Padahal sebenarnya banyak kata – kata yang ingi dia sampaikan pada laki – laki tua dihadapannya itu. Entah mengapa kata – kata yang seharusnya dia katakan malah hanya menjejali pikirannya. “ Mencintai Mahmudah ? lho, memangnya kenapa ? bukankah itu hal wajar ?” “ Iya, pak. Cuma ....” “ Cuma apa ?” “ Tempo hari terus terang, sss.... saya.... saya... sudah mengatakannya pada Imah, pak.” “ Terus bagaimana tanggapan Imah sendiri ?” lanjut Pak Hanif ingin tahu. “ Imah bilang kalau saya harus bicara terlebih dahulu dengan bapak. Apakah kira – kira bapak merestui hubungan saya dengan Imah, pak ?” kata Iqbal mulai mengendalikan diri. “ Oh, itu... ?” Pak Hanif mengangguk – anggukkan kepala. “ Ya, ya, ya... Bapak paham. Tapi kalau menurut bapak sih tidak apa. Asal Imah sendiri juga tidak keberatan. “ “ Menurut Imah sih kalau Bapak tidak keberatan, Imah juga tidak keberatan, pak ?” “ Oh, ya?” “ Iya, pak.” “ Kalau begitu coba panggilkan adikmu kemari, Haris!” kata Pak Hanif lagi pada anak sulungnya. “ Baik, pak” Tanpa banyak cakap Haris segera beranjak bangun dari tempat duduknya, lalu bergegas masuk kedalam ruang tengah. Tidak lama. Tidak sampai lima menit, Haris sudah kembali masuk ke ruang tamu disertai adiknya. Tampak gadis cantik itu malu – malu ketika melihat siapa yang datang. “ Duduk sini Imah! Bapak ingin bicara sebentar” ujar Pak Hanif pada putrinya. “ Iya, pak.” Mahmudah menyahut singkat. Lalu, dia ikut duduk tak jauh dari samping kakaknya. “ Apa benar kamu ingin menjalin hubungan dengan nak Iqbal, Imah ?” tanya Pak Hanif begitu anak gadisnya duduk tak jauh dari hadapannya. Mahmudah tidak langsung menjawab pertanyaan bapaknya. Dia malah menundukkan kepalanya dalam – dalam sembari memandang jari – jari kakinya. “ Lho, kok malah diam ? kata nak Iqbal kamu tidak keberatan menjalin hubungan dengan nak Iqbal asal ayah juga tidak keberatan. Apa benar begitu Imah ?” Entah mengapa mendadak Mahmudah sulit sekali mengeluarkan kata – kata. Dia hanya duduk takzim di hadapan ayahnya. Tapi pada akhirnya dia mau juga menganggukkan kepalanya. Walau anggukan kepala gadis itu sangat pelan, namun cukup untuk dilihat Pak Hanif maupun Iqbal dan Haris. “ Ya.. ya... ya..! ayah ngerti. Tapi, menurut kamu, apa kamu benar – benar ingin menjalin hubungan dengan nak Iqbal, Imah ?” “ Menurut ayah sendiri bagaimana ?” desis Mahmudah lirih nyaris tak terdengar. “ Ah....! kamu ini bagaimana, sih? Orang kamu yang mau menjalani kok malah tanya sama ayah ? kalau kamu tidak keberatan, ayah juga tidak keberatan. Tapi kalau kamu keberatan, yah juga keberatan, Imah.” Iqbal senang bukan main mendengar jawaban Pak Hanif. Diam – diam dia tersenyum – senyum sendiri dalam hati sembari kedua bola matanya yang tajam tak hentinya terus memperhatikan gadis cantik denga jilbabnya yang warna putih dihadapannya. “ Imah sendiri sebenarnya juga belum memutuskan sepenuhnya, ayah.” Kata Mahmudah lirih. “ Maksudmu apa sebenarnya, Imah ? kok, kamu bilang masih belum memutuskan sepenuhnya ?” “ Iya ayah, sebenarnya Imah memang belum sepenuhnya memutuskannya, ayah. Tapi justru mas Iqballah yang seharusnya memutuskan” “ Lho, bagaimana ini? Kok ayah malah jadi bingung ?” ujar pak Hanif sebentar memandangi anak gadisnya, sebentar kemudian memandangi tamunya. “ Begini lho, pak. Tempo hari Iqbal memang bilang sama Imah kalau dia itu mencintai Imah. Terus Imah bilang kalau dia hanya menginginkan keseriusan, jika memang Iqbal benar – benar mencintai Imah, maka Imah menghendaki kalau Iqbal bicara dulu sama ayah. Jika ayah tidak keberatan, Imah juga tidak keberatan ayah.” Kata Haris menjelaskan perjanjian diantara Iqbal dan adiknya. “ Oh, begitu ceritanya. Ya, ya, ya... ayah paham sekarang. Dan sebagai bukti keseriusan nak Iqbal mencintai Imah lantas nak Iqbal bermaksud bicara sama bapak. Begitu nak Iqbal ?” ujar Pak Hanif sembari mengangguk – anggukkan kepalanya. “ Benar sekali, pak. Saya memang sangat mencintai Imah, pak. Dan sebagai bukti keseriusan saya mencintai Imah, maka saya memberanikan diri untuk bicara sama bapak.” Sambung Iqbal penuh semangat. “ Terus, kamu sendiri bagaimana Imah ?” “ Tunggu ayah! Terus terang Imah juga senang jika ayah tidak keberatan merestui hubungan Imah dengan mas Iqbal, namun mas Iqbal juga harus ingat. Walau ayah Imah tidak keberatan, namun Imah juga belum tentu akan menerima mas Iqbal begitu saja sebelum mas Iqbal mengerti latar belakang Imah maupun latar belakang keluarga Imah. Mas Iqbal masih ingat dengan syarat yang satu ini kan ?” kata Mahmudah mencoba mengingatkan Iqbal. “ Ya, ya, ya.. aku mengerti. Dan Insya Allah mulai sekarang juga aku akan mencoba mengerti latar belakang diri Imah dan juga keluarga Imah.” “ Mas Iqbal sendiri tidak bertanya kenapa Imah mengajukan syarat yang kedengarannya sepele ini, mas ?” tanya Mahmudah disertai pandang matanya yang tajam penuh selidik. “ Tidak. Memangnya kenapa ?” Mahmudah tersenyum. Manis sekali di mata Iqbal. “ Tapi, sebelumnya saya minta maaf, mas Iqbal.” “ Tidak apa – apa katakan saja.” “ Begini mas, sebab menurut sepengetahuan Imah, selama ini pola kehidupan mas Iqbal itu maaf.... masih berpola hidup jahiliyah, mas” Iqbal terkejut. Pak Hanif juga terkejut. Cuma Haris saja yang sedikit banyak memang tahu syarat – syarat yang diajukan adiknya kepada Iqbal. “ Selagi mas Iqbal belum juga meninggalkan pola hidup jahiliyah mas Iqbal, Imah keberatan menerima mas Iqbal. Untuk itulah, Imah ingin mas Iqbal lebih mengenal diri Imah maupun keluarga Imah lebih dalam lagi mas.” “ Wah ....! bagus. Benar sekali kamu Imah. Ayah sependapat dengan syaratmu itu. Tapi, bagaimana dengan nak Iqbal tidak keberatan memenuhi syarat yang diajukan anak bapak ?” “ Seperti yang tadi saya katakan, pak. Insya Allah mulai hari ini juga saya akan berusaha mengenal diri Imah maupun keluarga Imah, pak.” “ Terima kasih, mas. Jika mas Iqbal mau menuruti permintaan Imah. Hal ini semata – mata hanya untuk kebaikan diri mas Iqbal sendiri maupun kebaikan hubungan kita kelak jika mas Iqbal memang benar – benar menginginkan Imah, mas.” “ Ya, ya, ya... aku paham Imah. Dan aku juga sangat senang sekali dengan keterus teranganmu.” “ Dan satu hal lagi yang patut nak Iqbal ingat !” sambung pak Hanif lagi. “ Apa itu pak ?” “ Jika memang nak Iqbal ini sudah cukup tahu tentang seluk – beluk keluarga kami, dan Imah sendiri juga sudah dapat menerima nak Iqbal sepenuhnya, bapak berharap untuk menghindari fitnah, apa salahnya kalau nak Iqbal harus cepat – cepat melamar anak bapak. Nak Iqbal tidak keberatan kan ?” “ Sama sekali tidak, pak. Ssss.... saya malah ingin berusaha secepatnya melamar anak bapak.” Sahut Iqbal penuh semangat. “ Bagus...! bagus...! memang itulah yang bapak inginkan nak.” Ujar pak Hanif sembari mrngangguk – anggukkan kepalanya senang. Hari – hari berikutnya, Iqbal benar – benar membuktikan ucapannya. Sejak kunjungannya yang terakhir kali ke rumah pak Hanif, maka sejak itu dia sering datang berkunjung ke rumah pak Hanif. Keinginannya saat itu bukan hanya semata – mata ingin bertemu kekasih hatinya semata, melainkan justru ingin mengerti tetang latar belakan kehidupan kekasihnya dan keluarga kekasihnya. Walau sebenarnya Mahmudah memang belum tapat kalau dikatakan kekasihnya, namun entah mengapa Iqbal merasa kalau Mahmudah benar – benar telah menjadi kekasihnya. Hanya belum dapat menerima sepenuhnya. Dan Imah baru akan dapat menerima Iqbal sepenuhnya jika dia benar – benar tahu tentang latar belakang kekasihnya maupun diri keluarga kekasihnya. Belum sampai satu bulan Iqbal sedikit banyak mulai dapat mengerti tentang latar belakang keluarga pak Hanif beserta anak – anaknya. Tak disangka sama sekali kalau pola hidup keluarga pak Hanif benar – benar terasa sejuk jika dibandingkan dengan latar belakang pola hidup keluarganya sendiri yang cenderung materialistis. Apa – apa diukur dengan kacamata materi. Sedikit pun tidak pernah berpikir untuk kebersamaan. Baik untuk diri keluarga Iqbal sendiri. Lebih lagi untuk kepentingan masyarakat. Sama sekali tidak. Jika pola hidup keluarganya dengan pola hidup keluarga pak Hanif dibandingkan, maka bisa diibaratkan langit dan bumi. Pak Hanif dan keluarganya tidak pernah memandang tolok ukur krhidupan ini dengan material semata. Pak Hanif dan keluarganya malah sering mengatakan kalau seluruh hidupnya hanya untuk Allah. Baik amal ibadahnya, shalatnya, ilmunya, kekayaannya, maupun yang lain – lainnya hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Tidak untuk lainnya. Semua fasilitas maupun kekayaannya benar – benar untuk Allah. Pak Hanif juga sering mengatakan kalau ibarat pohon janganlah menjadi pohon yang tidak berbuah, yang hanya akan menghidupi dirinya sendiri. Hal ini berarti egois dan individualis. Melainkan jadilah pohon yang tumbuh lebat dengan buah – buahnya yang banyak. Selain dapat menghidupi diri sendiri, juga dapat bermanfaat bagi orang banyak. Dalam hal ini, Iqbal dapat mengambil pelajaran kalau sebenarnya sebagai seorang manusia itu tidak hanya memikirkan diri sendiri. Melainkan juga harus memikirkan saudara – saudaranya, tetangga – tetangganya, maupun masyarakat luas pada umumnya. “ Dan ingat nak Iqbal, janganlah setengah – setengah kalau menjadi orang islam. Kamu harus bisa menentukan pilihan. Mau terus menjadi masyarakat yang jahili atau islami !” Kata – kata itulah yang seringn diucapkan pak Hanif. Diam – diam Iqbal pun makin terpesona melihat cara pandang hidup keluarga pak Hanif. Dan tanpa disadarinya Iqbal pun mulai dapat mengubah pola hidup yang selama ini digeluti. Melihat perubahan ini Mahmudah maupun pak Hanif senang sekali melihatnya. Kesadaran Iqbal sendiri bukan semata – mata mencintai Mahmudah. Melainkan kesadaran itu datangnya justru dari dirinya sendiri. Entah mengapa dia seperti tercabut dari kubangan lumpur hitam yang selama ini digelutinya. Dan sejak pola hidup Iqbal ini berubah, hati laki – laki itupun makin tenang. Hidup ini seolah ringan. Tanpa beban. Ibarat burung terbang lepas di angkasa yang hanya memiliki pertanggung jawaban semata kepada Allah. Hebatnya lagi, walau Iqbal sering datang berkunjung kerumah pak Hanif, namun belum sekalipun Mahmudah bersedia untuk diajak jalan – jalan bersamanya. Mula – mula Iqbal memang sempat marah. Namun ketika mendapat penjelasan dari Mahmudah maupun Haris yang selalu menemani adiknya itu , Iqbal baru sadar. Ternyata Mahmudah sangat menjaga kesucian dan kehormatannya sebagai seorang wanita. Jangankan diajak jalan – jalan, dipegang tangannya pun Mahmudah keberatan. Hal ini semata – mata karena Iqbal bukan atau belum menjadi suaminya. Inilah alasan yang selalu dikemukakan Mahmudah maupun Haris. Meski demikian, tekad Iqbal untuk memiliki Mahmudah bukan malah surut sampai di situ. Dia justru semakin terpacu untuk memperbaiki diri begitu melihat kesejukan cinta kasih kekasihnya maupun cinta kasih keluarga kekasihnya. “ Bapak senang sekali padamu nak Iqbal. Ternyata nak Iqbal benar – benar dapat mengubah diri nak Iqbal. “ ujar pak Hanif ketika mereka sedang berkumpul di ruang keluarga sembari duduk lesehan. “ Apa hal ini berarti saya sudah bisa dianggap cukup mengerti latar belakang keluarga pak Hanif ?” balas Iqbal sembari menyembunyikan senyum. Pak Hanif sendiri juga sangat maklum apa yang dimaksudkan anak muda itu. “ Waah...! kalau itu terus terang bapak tidak bisa jawab nak Iqbal. Tapi justru Imah lah yang seharusnya menjawab.” Sembari berkata begitu pak Hanif sempat melirik anaknya yang mendadak tersipu malu. “ Kalau begitu, kenapa tidak tanyakan saja langsung sama anaknya, nak Iqbal.” Sambung pak Hanif setengah menggoda. “ Iya, pak. Saya sebaiknya memang harus menanyakan saja langsung sama Imah.” Kata Iqbal lalu kembali dia bertanya pada gadis berjilbab yang duduk tak jauh dari samping ibunya. “ Imah, seperti yang sudah Imah dengar. Apa menurut kamu aku sudah bisa dianggap cukup mengerti tentang latar belakang Imah dan keluarga Imah ?“ Iqbal lembut sekali menanyakan hal itu pada kekasihnya. Mahmudah tersenyum malu – malu. Tapi hanya sebentar. Setelah itu buru – buru dia menundukkan kepalanya. “ Kenapa diam Imah ? apa hal ini berarti aku belum dapat diterima? “ tanya Iqbal was – was. Mahmudah sendiri malah makin menyembunyikan rona merah di pipinya dalam – dalam. Pak Hanif pun lalu tertawa. “ Ah....! nak Iqbal ini kayak tidak tahu anak gadis saja.” “ Maksud bapak ? apakah Imah mulai dapat menerima saya, pak ?” tanya Iqbal harap – harap cemas. “ Begitulah. Makanya untuk menghindari fitnah, bapak harap sebaiknya nak Iqbal dan kedua orang tua nak Iqbal cepat – cepat datang melamar anak bapak. Bukankah begitu kan, Imah ?” Lagi – lagi Mahmudah hanya bungkam. Namun sebentar dia sempat memperhatikan ayahnya. Tapi hanya sebentar. Setelah itu buru – buru dia menyembunyikan wajahnya dalam pelukan ibunya. Pak Hanif pun tertawa – tawa senang. “ Sudahlah ! turuti saja saran bapak tadi. Toh kalau Imah menolak pasti dari tadi juga sudah bicara.” “ Iya pak. Insya Allah secepatnya saya dan keluarga saya akan datang melamar Imah.” Putus Iqbal akhirnya sarat kegembiraan. “ Ya, ya, ya... bagus itu !” ujar pak Hanif sembari sesekali menggoda anak gadisnya. Mendapati godaan ayahnya, Mahmudah sendiri makin membenamkan wajahnya yang merona merah ke dalam pelukan ibunya. Meski demikian, dari sudut bibirnya gadis itu sempat menyunggingkan seulas senyum manis. Matahari sore itu mulai tenggelam di kaki langit sebelah barat. Sinarnya yang berwarna merah tembaga seolah ingin menjilat angkasa. Siluet hitam serombongan burung tampak melintas di balik cahaya warna merah tembaga. Sore itu suasana di seputar rumah pak Hanif tampak lenggang. Yang terdengar hanya suara riuh rendah beberapa orang anak kecil yang tengah bermain sepeda di sebuah jalan dekat rumah pak Hanif. Pada saat itu pula tampak Iqbal tengah mengemudikan mobilnya pelan menyusuri jalan itu. Sesaat Iqbal sempat memperhatikan anak keci yang sedang bermain sepeda itu, lalu kembali meneruskan laju mobilnya menuju ke rumah pak Hanif. Selang beberapa saat kemudian, dia sampai di depan rumah sederhana pak Hanif. Namun entah mengapa mendadak Iqbal ragu – ragu. Walau dia sudah beberapa kali berkunjung ke rumah itu, entah mengapa mendadak hatinya resah. Hal ini semata – mata kedatangannya kali ini bukan untuk sekedar mengenal latar belakang keluarga itu, melainkan justru ingin melamar anak gadisnya sang empunya rumah itu. Sebisa mungkin Iqbal mencoba kembali bersikap tenang. Meskipun dia belum dapat menenangkan hatinya. Buru – buru dia memarkir mobilnya tak jauh dari teras rumah itu. Sejurus kemudian Iqbal melangkah turun dari mobilnya dan terus berjalan mendekati rumah Mahmudah. “ Assalamu’alaikum...” ujar Iqbal sesampainya di depan rumah gadisnya. “ Wa’alaikum salam...” Terdengar sahutan seseorang yang sangat dikenalnya. Tidak lain adalah ayah Mahmudah. Begitu melihat kemunculan laki – laki paruh baya yang masih menampakkan sisa – sisa ketampanannya di waktu muda itu, Iqbal pun segera mendekat dan menyalaminya dengan takzim sembari mencium tangan laki – laki tua itu. “ Ayo, silahkan masuk.” Ujar pak Hanif ramah. “ Iya, pak.” Sopan sekali Iqbal mengekor di belakang pak Hanif. Seperti biasa pak Hanif langsung mengajak tamunya yang sudah tidak asing itu ke dalam ruang keluarga. Kebetulan di ruang keluarga itu pak Hanif dan keluarganya memang sedang berkumpul. Iqbal pun sempat berbasa – basi sebentar dengan keluarga pak Hanif, lalu baru dia meletakkan pantatnya diatas karpet yang digelar di ruang keluarga itu. Ayah Mahmudah pun hanya tersenyum – senyum memandangi Iqbal di hadapannya. “ Aku tinggal ke dalam sebentar ya, mas.” Kata Mahmudah. “ Iiiiya... imah.” Sahut Iqbal kaku. Tanpa banyak bicara lagi Mahmudah pun melangkah masuk. Namun tidak lama. Tidak sampai tiga menit gadis itu sudah kembali di ruang keluarga sembari membawa nampan berisi teh hangat. Gadis itu pun segera meletakkan gelas – gelas minuman di hadapan ayahnya dan Iqbal. “ Silahkan di minum, mas.” Ujar Mahmudah sembari ikut duduk bergabung bersama mereka. Ayah Mahmudah tersenyum – senyum sembari mengangguk – anggukkan kepala. “ Terus terang, bapak senang sekali dengan apa yang telah di lakukan nak Iqbal selama ini, nak. Bapak juga senang melihat perubahan sikapmu in. Tidak lagi seperti waktu belum sering kemari. “ ujarnya sembari masih mengangguk – anggukkan kepala. “ Ah....! apa yang saya lakukan ini belum seberapa kok, pak. Masih banyak tantangan dan rintangan yang menghadang saya kok, pak. “ sahut Iqbal malu – malu. Lebih lagi manakala dia menyadari kalau kenginannya melamar Mahmudah tidak dilakukan bersama kedua orang tuanya. Teringat hal itu, mendadak hati laki – laki muda itu jadi terasa ngilu. “ Ya, ya, ya.. bapak tahu. Haris juga sudah bercerita banyak sama bapak. Tapi, apapun halangan dan rintangannya niat baikmu itu harus diteruskan.” “ Akan tetapi pak..... halangan dan rintangan yang tengah saya hadapi ini benar – benar berat pak.” “ Ya, bapak tahu. Tapi, kamu juga harus tabah. Jadikan sholat dan sabar sebagai pertolonganmu sebagaimana yang telah difirmankan Allah.” “ Iya pak, tapi maaf sebelumnya kalau kedatangan saya kali ini tidak bersama kedua orang tua saya.” “ Lho, memangnya kenapa ?” ujar pak Hanif menyembunyikan keheranannya. “ Anu, pak... ehm... kedua orang tua saya tidak mengizinkan saya menikah.” Ucap Iqbal serak. “ Terus?” “ Yahh... saya tetap dengan keputusan saya, pak. Saya akan tetap menikah dengan Imah jika bapak tidak keberatan.” “ oh....? jadi maksud kedatanganmu kemari memang hanya untuk melamar Imah ?” ujar pak Hanif dengan senyum. “ Iya, pak.” Sahut Iqbal penuh harap. “ Sebenarnya sih sebaiknya memang bersama kedua orang tua mu nak Iqbal. Tapi sudahlah. Sebaiknya kita tidak usah membicarakan itu lagi.” Sebelumnya pak Hanif memang sudah menduga. Apalagi tadi Haris sudah bercerita padanya tentang keberatan kedua orang tua Iqbal melamar anaknya. “ Terus, bagaimana pak ? apa lamaran saya diterima ?” “ Tentu saja. Asal Imah tidak keberatan. Menurut kamu sendiri bagaimana Imah ? diterima tidak lamaran nak Iqbal ini ?” Mendapat pertanyaan seperti itu, sudah pasti kedua belah pipi gadis cantik berjilbab biru itu spontan memerah. Buru - buru Mahmudah yang sedari tadi mengikuti pembicaraan ayahnya dan Iqbal menyembunyikan wajahnya dalam – dalam. Walau anak gadisnya tidak mengatakan sesuatu, namun pak Hanif cukup tahu apa yang diinginkan anak gadisnya itu. Untuk itu, dia hanya tertawa – tawa menggoda. “ Ya, ya, ya... bapak terima lamaran nak Iqbal ini.” Ujar Pak Hanif sembari mengangguk – anggukkan kepala. “ Terima kasih pak. Terima kasih..” ujar Iqbal gembira bukan main. “ Sudahlah nak Iqbal. Jangan berterima kasih pada bapak. Berterima kasihlah pada Allah. Sebab Alllah lah yang telah mengatur semua ini.” “ Iiiiya.. pak. Tapi, biar bagaimana pun saya benar – benar mengucapkan terima kasih pada bapak.” Kata Iqbal sembari dalam hatinya tak henti – henti mengucapkan syukur. Ayah Mahmudah hanya tersenyum – senyum saja memandangi Iqbal. Sebaliknya, Iqbal semakin kagum melihat Mahmudah dan keluarganya. Tidak disangka sama sekali kalau pak Hanif yang sebenarnya memiliki kekayaan melimpah itu dapat bertindak sedemikian arif. Sedikitpun tidak membeda – bedakan manusia dari sisi materi. Bahkan kekayaan yang dimiliki Mahmudah dan kedua orang tuanya tidak sampai membuat Mahmudah dan kedua orang tuanya pongah. Sebaliknya, mereka malah apat berlaku zuhud dengan meletakkan kekayaan yang dimilikinya di tangan. Padahal kalau mereka mau, mereka mampu melakukan apa saja dengan kekayaannya itu. Lebih dari itu, sikap Mahmudah sendiri juga sangat sederhana. Walaupun kedua orang tuanya memiliki kekayaan melimpah, namun dia tetap hidup dengan kesederhanaannya. Bahkan untuk pergi pulang kuliah pun hanya dengan menggunakan sepeda motor. Kiranya hai ini sangat berbeda sekali dengan anak – anak orang kaya lainnya yang justru malah berlomba – lomba memamerkan kekayaan orang tuanya. Berpikir sejauh itu tak urung membuat Iqbal diam – diam semakin mengagumi gadis cantik disampinya. Hingga tanpa sadar, Iqbal pun sempat memperhatikan gadis itu seksama. Iqbal sendiri baru menyadari perbuatannya itu manakala terdengar suara batuk – batuk kecil ayah Mahmudah. “ Ehm.... maaf... maaf pak.” Ujar Iqbal gugup bukan main. Seketika itu juga kedua belah pipinya memerah mirip kepiting rebus. Melihat hal itu, ayah Mahmudah malah tertawa – tawa gembira. “ Tidak apa – apa nak Iqbal. Dulu bapak juga pernah muda seperti kamu kok. “ Ujarnya lagi dengan sisa – sisa tawanya. “ Sekali lagi saya benar – benar minta maaf pak. Sss .... saya saya tidak bermaksud kurang ajar pak.” Gelagapan sekali Iqbal dipergoki pak Hanif sedang mencuri pandang anak gadisnya. “ Ya, ya, ya... tidak apa – apa. Bapak maklum kok.” Lalu katanya lagi pada Mahmudah. “ Eh, kamu kok malah masih di sini ? ayo buruan siapkan makan buat calon suamimu in!” “ Iya pak.” Sahut Mahmudah malu – malu, lalu buru – buru ia melangkah masuk ke dapur. Ayah Mahmudah malah tersenyum – senyum sebentar sembari memandangi anak gadisnya, sebentar kemudian pandang mata menggoda pak Hanif itu berganti memandangi Iqbal di hadapannya. Iqbal sendiri tidak berkata – kata lagi. Dia hanya duduk diam sembari tersenyum – senyum malu. Karuan saja hal ini membuat pak Hanif dan istrinya tertawa – tawa menggoda.
Sayap – Sayap Cinta Siang itu terik panas matahari masih memanggang bumi. Agak keburu – buru, Iqbal membelokkan mobilnya menuju halaman rumah Pak Hanif. Keputusannya saat itu benar – benar sudah bulat untuk memenuhi syarat yang diajukan Mahmudah jika dia memang benar – benar ingin memiliki gadis itu. Saat itu suasana depan rumah Pak Hanif terlihat sepi. Sama sekali tidak terdengar suara anak panti yang sedang mengaji. Bisa jadi karena masih siang sehingga Haris dan Mahmudah belum mengajar mengaji. Walau rumah Pak Hanif sangat sederhana, namun tetap terlihat asri banyaknya tetumbuhan yang tumbuh di kanan dan kiri halaman rumah itu. Hanif sendiri tidak begitu memperhatikan keadaan sekitar. Saat itu pikirannya benar – benar telah tegang karena ingin menemui Pak Hanif. Untuk itu, begitu ia memarkirkan mobilnya dihalaman rumah Pak Hanif yang cukup luas itu, iqbal segera turun dari mobilnya. Saat itu terlihat Haris tengah keluar dari dalam rumahnya. Iqbal merasa sikap Haris yang biasanya ramah itu sekarang lain. Kali ini sahabatnya itu memandang sinis. Diam – diam Iqbal sempat tagang juga. Bagaimanapun juga Haris adalah kakak kandung Mahmudah yang sudah semestinya dihormati. “ Bisa aku ketemu sama bapak, Har ?” “ Bisa saja,” sahut Haris singkat. Bagaimanapun juga dia sempat marah tatkala dia melihat Iqbal tengah berpeluk – pelukan mesra dengan Novi di kampusnya. Hal inilah yang membuat Haris sedikit berubah sikap. “ Ayo masuk!” ujar Haris lagi singkat. Tanpa banyak tanya Iqbal segera mengekor Haris masuk kedalam rumahnya. Suasana dalam rumah itu sendiri sepi. Haris lalu mempersilahkan tamunya duduk, lalu ia sendiri segera ke ruang tengah. Namun tidak lama. Selang beberapa saat kemudian, Haris kembali muncul di ruang tamu dengan diikuti ayahnya. “ Assalamu’alaikum, pak ..” sapa Iqbal ramah. “ Wa’alaikumsalam..” sahut Pak Hnif ramah. “Bapak dengar nak Iqbal ini ingin ketemu dengan bapak ? Apa benar, nak Iqbal ?” selanjutnya lagi sembari meletakkan pantatnya di sebuah kursi di ruang tamu. Haris sendiri juga ikut duduk tak jauh dari samping ayahnya. “ I...Iya, Pak, “ sahut Iqbal kaku. “ Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya, nak Iqbal ?” ujar Pak Hanif tetap ramah. “ Ehm... saya .... saya...,” Iqbal menelan ludahnya beberapa kali. Entah kenapa mendadak hatinya tegang bukan main. Kata – kata yang sedari tadi telah disusun sewaktu menuju rumah Pak Hanif mendadak hilang entah kemana. “ Katakan saja terus terang, nak Iqbal. Tidak usah malu – malu. “ “ Iya, pak.” Iqbal masih belum juga mengeluarkan maksud hatinya. Tampak dia hanya menghela nafasnya berulang – ulang. “ Ada apa sebenarnya, nak Iqbal ? tidak usah malu – malu mengatakanya sama bapak, nak Iqbal. Katakan saja terus terang.” Ujar pak Hanif lagi. “ I...iya pak” Iqbal menelan ludah sebentar. Haris yang sedikit banyak tahu maksud kedatangan sahabatnya itu juga ikut memandangi sahabatnya itu seksama. “ Begini pak, ...” lanjut Iqbal kembali membuka suara. “ Terus terang, kedatangan saya kemari ini hanya ingin meminta restu dari bapak...” “ Restu? Restu apa nak Iqbal ?” tanya Pak Hanif belum tahu maksud ucapan tamunya. “ Ssss...saya mencintai Mahmudah, pak....” hanya itu yang lekuar dari mulut Iqbal. Padahal sebenarnya banyak kata – kata yang ingi dia sampaikan pada laki – laki tua dihadapannya itu. Entah mengapa kata – kata yang seharusnya dia katakan malah hanya menjejali pikirannya. “ Mencintai Mahmudah ? lho, memangnya kenapa ? bukankah itu hal wajar ?” “ Iya, pak. Cuma ....” “ Cuma apa ?” “ Tempo hari terus terang, sss.... saya.... saya... sudah mengatakannya pada Imah, pak.” “ Terus bagaimana tanggapan Imah sendiri ?” lanjut Pak Hanif ingin tahu. “ Imah bilang kalau saya harus bicara terlebih dahulu dengan bapak. Apakah kira – kira bapak merestui hubungan saya dengan Imah, pak ?” kata Iqbal mulai mengendalikan diri. “ Oh, itu... ?” Pak Hanif mengangguk – anggukkan kepala. “ Ya, ya, ya... Bapak paham. Tapi kalau menurut bapak sih tidak apa. Asal Imah sendiri juga tidak keberatan. “ “ Menurut Imah sih kalau Bapak tidak keberatan, Imah juga tidak keberatan, pak ?” “ Oh, ya?” “ Iya, pak.” “ Kalau begitu coba panggilkan adikmu kemari, Haris!” kata Pak Hanif lagi pada anak sulungnya. “ Baik, pak” Tanpa banyak cakap Haris segera beranjak bangun dari tempat duduknya, lalu bergegas masuk kedalam ruang tengah. Tidak lama. Tidak sampai lima menit, Haris sudah kembali masuk ke ruang tamu disertai adiknya. Tampak gadis cantik itu malu – malu ketika melihat siapa yang datang. “ Duduk sini Imah! Bapak ingin bicara sebentar” ujar Pak Hanif pada putrinya. “ Iya, pak.” Mahmudah menyahut singkat. Lalu, dia ikut duduk tak jauh dari samping kakaknya. “ Apa benar kamu ingin menjalin hubungan dengan nak Iqbal, Imah ?” tanya Pak Hanif begitu anak gadisnya duduk tak jauh dari hadapannya. Mahmudah tidak langsung menjawab pertanyaan bapaknya. Dia malah menundukkan kepalanya dalam – dalam sembari memandang jari – jari kakinya. “ Lho, kok malah diam ? kata nak Iqbal kamu tidak keberatan menjalin hubungan dengan nak Iqbal asal ayah juga tidak keberatan. Apa benar begitu Imah ?” Entah mengapa mendadak Mahmudah sulit sekali mengeluarkan kata – kata. Dia hanya duduk takzim di hadapan ayahnya. Tapi pada akhirnya dia mau juga menganggukkan kepalanya. Walau anggukan kepala gadis itu sangat pelan, namun cukup untuk dilihat Pak Hanif maupun Iqbal dan Haris. “ Ya.. ya... ya..! ayah ngerti. Tapi, menurut kamu, apa kamu benar – benar ingin menjalin hubungan dengan nak Iqbal, Imah ?” “ Menurut ayah sendiri bagaimana ?” desis Mahmudah lirih nyaris tak terdengar. “ Ah....! kamu ini bagaimana, sih? Orang kamu yang mau menjalani kok malah tanya sama ayah ? kalau kamu tidak keberatan, ayah juga tidak keberatan. Tapi kalau kamu keberatan, yah juga keberatan, Imah.” Iqbal senang bukan main mendengar jawaban Pak Hanif. Diam – diam dia tersenyum – senyum sendiri dalam hati sembari kedua bola matanya yang tajam tak hentinya terus memperhatikan gadis cantik denga jilbabnya yang warna putih dihadapannya. “ Imah sendiri sebenarnya juga belum memutuskan sepenuhnya, ayah.” Kata Mahmudah lirih. “ Maksudmu apa sebenarnya, Imah ? kok, kamu bilang masih belum memutuskan sepenuhnya ?” “ Iya ayah, sebenarnya Imah memang belum sepenuhnya memutuskannya, ayah. Tapi justru mas Iqballah yang seharusnya memutuskan” “ Lho, bagaimana ini? Kok ayah malah jadi bingung ?” ujar pak Hanif sebentar memandangi anak gadisnya, sebentar kemudian memandangi tamunya. “ Begini lho, pak. Tempo hari Iqbal memang bilang sama Imah kalau dia itu mencintai Imah. Terus Imah bilang kalau dia hanya menginginkan keseriusan, jika memang Iqbal benar – benar mencintai Imah, maka Imah menghendaki kalau Iqbal bicara dulu sama ayah. Jika ayah tidak keberatan, Imah juga tidak keberatan ayah.” Kata Haris menjelaskan perjanjian diantara Iqbal dan adiknya. “ Oh, begitu ceritanya. Ya, ya, ya... ayah paham sekarang. Dan sebagai bukti keseriusan nak Iqbal mencintai Imah lantas nak Iqbal bermaksud bicara sama bapak. Begitu nak Iqbal ?” ujar Pak Hanif sembari mengangguk – anggukkan kepalanya. “ Benar sekali, pak. Saya memang sangat mencintai Imah, pak. Dan sebagai bukti keseriusan saya mencintai Imah, maka saya memberanikan diri untuk bicara sama bapak.” Sambung Iqbal penuh semangat. “ Terus, kamu sendiri bagaimana Imah ?” “ Tunggu ayah! Terus terang Imah juga senang jika ayah tidak keberatan merestui hubungan Imah dengan mas Iqbal, namun mas Iqbal juga harus ingat. Walau ayah Imah tidak keberatan, namun Imah juga belum tentu akan menerima mas Iqbal begitu saja sebelum mas Iqbal mengerti latar belakang Imah maupun latar belakang keluarga Imah. Mas Iqbal masih ingat dengan syarat yang satu ini kan ?” kata Mahmudah mencoba mengingatkan Iqbal. “ Ya, ya, ya.. aku mengerti. Dan Insya Allah mulai sekarang juga aku akan mencoba mengerti latar belakang diri Imah dan juga keluarga Imah.” “ Mas Iqbal sendiri tidak bertanya kenapa Imah mengajukan syarat yang kedengarannya sepele ini, mas ?” tanya Mahmudah disertai pandang matanya yang tajam penuh selidik. “ Tidak. Memangnya kenapa ?” Mahmudah tersenyum. Manis sekali di mata Iqbal. “ Tapi, sebelumnya saya minta maaf, mas Iqbal.” “ Tidak apa – apa katakan saja.” “ Begini mas, sebab menurut sepengetahuan Imah, selama ini pola kehidupan mas Iqbal itu maaf.... masih berpola hidup jahiliyah, mas” Iqbal terkejut. Pak Hanif juga terkejut. Cuma Haris saja yang sedikit banyak memang tahu syarat – syarat yang diajukan adiknya kepada Iqbal. “ Selagi mas Iqbal belum juga meninggalkan pola hidup jahiliyah mas Iqbal, Imah keberatan menerima mas Iqbal. Untuk itulah, Imah ingin mas Iqbal lebih mengenal diri Imah maupun keluarga Imah lebih dalam lagi mas.” “ Wah ....! bagus. Benar sekali kamu Imah. Ayah sependapat dengan syaratmu itu. Tapi, bagaimana dengan nak Iqbal tidak keberatan memenuhi syarat yang diajukan anak bapak ?” “ Seperti yang tadi saya katakan, pak. Insya Allah mulai hari ini juga saya akan berusaha mengenal diri Imah maupun keluarga Imah, pak.” “ Terima kasih, mas. Jika mas Iqbal mau menuruti permintaan Imah. Hal ini semata – mata hanya untuk kebaikan diri mas Iqbal sendiri maupun kebaikan hubungan kita kelak jika mas Iqbal memang benar – benar menginginkan Imah, mas.” “ Ya, ya, ya... aku paham Imah. Dan aku juga sangat senang sekali dengan keterus teranganmu.” “ Dan satu hal lagi yang patut nak Iqbal ingat !” sambung pak Hanif lagi. “ Apa itu pak ?” “ Jika memang nak Iqbal ini sudah cukup tahu tentang seluk – beluk keluarga kami, dan Imah sendiri juga sudah dapat menerima nak Iqbal sepenuhnya, bapak berharap untuk menghindari fitnah, apa salahnya kalau nak Iqbal harus cepat – cepat melamar anak bapak. Nak Iqbal tidak keberatan kan ?” “ Sama sekali tidak, pak. Ssss.... saya malah ingin berusaha secepatnya melamar anak bapak.” Sahut Iqbal penuh semangat. “ Bagus...! bagus...! memang itulah yang bapak inginkan nak.” Ujar pak Hanif sembari mrngangguk – anggukkan kepalanya senang. Hari – hari berikutnya, Iqbal benar – benar membuktikan ucapannya. Sejak kunjungannya yang terakhir kali ke rumah pak Hanif, maka sejak itu dia sering datang berkunjung ke rumah pak Hanif. Keinginannya saat itu bukan hanya semata – mata ingin bertemu kekasih hatinya semata, melainkan justru ingin mengerti tetang latar belakan kehidupan kekasihnya dan keluarga kekasihnya. Walau sebenarnya Mahmudah memang belum tapat kalau dikatakan kekasihnya, namun entah mengapa Iqbal merasa kalau Mahmudah benar – benar telah menjadi kekasihnya. Hanya belum dapat menerima sepenuhnya. Dan Imah baru akan dapat menerima Iqbal sepenuhnya jika dia benar – benar tahu tentang latar belakang kekasihnya maupun diri keluarga kekasihnya. Belum sampai satu bulan Iqbal sedikit banyak mulai dapat mengerti tentang latar belakang keluarga pak Hanif beserta anak – anaknya. Tak disangka sama sekali kalau pola hidup keluarga pak Hanif benar – benar terasa sejuk jika dibandingkan dengan latar belakang pola hidup keluarganya sendiri yang cenderung materialistis. Apa – apa diukur dengan kacamata materi. Sedikit pun tidak pernah berpikir untuk kebersamaan. Baik untuk diri keluarga Iqbal sendiri. Lebih lagi untuk kepentingan masyarakat. Sama sekali tidak. Jika pola hidup keluarganya dengan pola hidup keluarga pak Hanif dibandingkan, maka bisa diibaratkan langit dan bumi. Pak Hanif dan keluarganya tidak pernah memandang tolok ukur krhidupan ini dengan material semata. Pak Hanif dan keluarganya malah sering mengatakan kalau seluruh hidupnya hanya untuk Allah. Baik amal ibadahnya, shalatnya, ilmunya, kekayaannya, maupun yang lain – lainnya hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Tidak untuk lainnya. Semua fasilitas maupun kekayaannya benar – benar untuk Allah. Pak Hanif juga sering mengatakan kalau ibarat pohon janganlah menjadi pohon yang tidak berbuah, yang hanya akan menghidupi dirinya sendiri. Hal ini berarti egois dan individualis. Melainkan jadilah pohon yang tumbuh lebat dengan buah – buahnya yang banyak. Selain dapat menghidupi diri sendiri, juga dapat bermanfaat bagi orang banyak. Dalam hal ini, Iqbal dapat mengambil pelajaran kalau sebenarnya sebagai seorang manusia itu tidak hanya memikirkan diri sendiri. Melainkan juga harus memikirkan saudara – saudaranya, tetangga – tetangganya, maupun masyarakat luas pada umumnya. “ Dan ingat nak Iqbal, janganlah setengah – setengah kalau menjadi orang islam. Kamu harus bisa menentukan pilihan. Mau terus menjadi masyarakat yang jahili atau islami !” Kata – kata itulah yang seringn diucapkan pak Hanif. Diam – diam Iqbal pun makin terpesona melihat cara pandang hidup keluarga pak Hanif. Dan tanpa disadarinya Iqbal pun mulai dapat mengubah pola hidup yang selama ini digeluti. Melihat perubahan ini Mahmudah maupun pak Hanif senang sekali melihatnya. Kesadaran Iqbal sendiri bukan semata – mata mencintai Mahmudah. Melainkan kesadaran itu datangnya justru dari dirinya sendiri. Entah mengapa dia seperti tercabut dari kubangan lumpur hitam yang selama ini digelutinya. Dan sejak pola hidup Iqbal ini berubah, hati laki – laki itupun makin tenang. Hidup ini seolah ringan. Tanpa beban. Ibarat burung terbang lepas di angkasa yang hanya memiliki pertanggung jawaban semata kepada Allah. Hebatnya lagi, walau Iqbal sering datang berkunjung kerumah pak Hanif, namun belum sekalipun Mahmudah bersedia untuk diajak jalan – jalan bersamanya. Mula – mula Iqbal memang sempat marah. Namun ketika mendapat penjelasan dari Mahmudah maupun Haris yang selalu menemani adiknya itu , Iqbal baru sadar. Ternyata Mahmudah sangat menjaga kesucian dan kehormatannya sebagai seorang wanita. Jangankan diajak jalan – jalan, dipegang tangannya pun Mahmudah keberatan. Hal ini semata – mata karena Iqbal bukan atau belum menjadi suaminya. Inilah alasan yang selalu dikemukakan Mahmudah maupun Haris. Meski demikian, tekad Iqbal untuk memiliki Mahmudah bukan malah surut sampai di situ. Dia justru semakin terpacu untuk memperbaiki diri begitu melihat kesejukan cinta kasih kekasihnya maupun cinta kasih keluarga kekasihnya. “ Bapak senang sekali padamu nak Iqbal. Ternyata nak Iqbal benar – benar dapat mengubah diri nak Iqbal. “ ujar pak Hanif ketika mereka sedang berkumpul di ruang keluarga sembari duduk lesehan. “ Apa hal ini berarti saya sudah bisa dianggap cukup mengerti latar belakang keluarga pak Hanif ?” balas Iqbal sembari menyembunyikan senyum. Pak Hanif sendiri juga sangat maklum apa yang dimaksudkan anak muda itu. “ Waah...! kalau itu terus terang bapak tidak bisa jawab nak Iqbal. Tapi justru Imah lah yang seharusnya menjawab.” Sembari berkata begitu pak Hanif sempat melirik anaknya yang mendadak tersipu malu. “ Kalau begitu, kenapa tidak tanyakan saja langsung sama anaknya, nak Iqbal.” Sambung pak Hanif setengah menggoda. “ Iya, pak. Saya sebaiknya memang harus menanyakan saja langsung sama Imah.” Kata Iqbal lalu kembali dia bertanya pada gadis berjilbab yang duduk tak jauh dari samping ibunya. “ Imah, seperti yang sudah Imah dengar. Apa menurut kamu aku sudah bisa dianggap cukup mengerti tentang latar belakang Imah dan keluarga Imah ?“ Iqbal lembut sekali menanyakan hal itu pada kekasihnya. Mahmudah tersenyum malu – malu. Tapi hanya sebentar. Setelah itu buru – buru dia menundukkan kepalanya. “ Kenapa diam Imah ? apa hal ini berarti aku belum dapat diterima? “ tanya Iqbal was – was. Mahmudah sendiri malah makin menyembunyikan rona merah di pipinya dalam – dalam. Pak Hanif pun lalu tertawa. “ Ah....! nak Iqbal ini kayak tidak tahu anak gadis saja.” “ Maksud bapak ? apakah Imah mulai dapat menerima saya, pak ?” tanya Iqbal harap – harap cemas. “ Begitulah. Makanya untuk menghindari fitnah, bapak harap sebaiknya nak Iqbal dan kedua orang tua nak Iqbal cepat – cepat datang melamar anak bapak. Bukankah begitu kan, Imah ?” Lagi – lagi Mahmudah hanya bungkam. Namun sebentar dia sempat memperhatikan ayahnya. Tapi hanya sebentar. Setelah itu buru – buru dia menyembunyikan wajahnya dalam pelukan ibunya. Pak Hanif pun tertawa – tawa senang. “ Sudahlah ! turuti saja saran bapak tadi. Toh kalau Imah menolak pasti dari tadi juga sudah bicara.” “ Iya pak. Insya Allah secepatnya saya dan keluarga saya akan datang melamar Imah.” Putus Iqbal akhirnya sarat kegembiraan. “ Ya, ya, ya... bagus itu !” ujar pak Hanif sembari sesekali menggoda anak gadisnya. Mendapati godaan ayahnya, Mahmudah sendiri makin membenamkan wajahnya yang merona merah ke dalam pelukan ibunya. Meski demikian, dari sudut bibirnya gadis itu sempat menyunggingkan seulas senyum manis. Matahari sore itu mulai tenggelam di kaki langit sebelah barat. Sinarnya yang berwarna merah tembaga seolah ingin menjilat angkasa. Siluet hitam serombongan burung tampak melintas di balik cahaya warna merah tembaga. Sore itu suasana di seputar rumah pak Hanif tampak lenggang. Yang terdengar hanya suara riuh rendah beberapa orang anak kecil yang tengah bermain sepeda di sebuah jalan dekat rumah pak Hanif. Pada saat itu pula tampak Iqbal tengah mengemudikan mobilnya pelan menyusuri jalan itu. Sesaat Iqbal sempat memperhatikan anak keci yang sedang bermain sepeda itu, lalu kembali meneruskan laju mobilnya menuju ke rumah pak Hanif. Selang beberapa saat kemudian, dia sampai di depan rumah sederhana pak Hanif. Namun entah mengapa mendadak Iqbal ragu – ragu. Walau dia sudah beberapa kali berkunjung ke rumah itu, entah mengapa mendadak hatinya resah. Hal ini semata – mata kedatangannya kali ini bukan untuk sekedar mengenal latar belakang keluarga itu, melainkan justru ingin melamar anak gadisnya sang empunya rumah itu. Sebisa mungkin Iqbal mencoba kembali bersikap tenang. Meskipun dia belum dapat menenangkan hatinya. Buru – buru dia memarkir mobilnya tak jauh dari teras rumah itu. Sejurus kemudian Iqbal melangkah turun dari mobilnya dan terus berjalan mendekati rumah Mahmudah. “ Assalamu’alaikum...” ujar Iqbal sesampainya di depan rumah gadisnya. “ Wa’alaikum salam...” Terdengar sahutan seseorang yang sangat dikenalnya. Tidak lain adalah ayah Mahmudah. Begitu melihat kemunculan laki – laki paruh baya yang masih menampakkan sisa – sisa ketampanannya di waktu muda itu, Iqbal pun segera mendekat dan menyalaminya dengan takzim sembari mencium tangan laki – laki tua itu. “ Ayo, silahkan masuk.” Ujar pak Hanif ramah. “ Iya, pak.” Sopan sekali Iqbal mengekor di belakang pak Hanif. Seperti biasa pak Hanif langsung mengajak tamunya yang sudah tidak asing itu ke dalam ruang keluarga. Kebetulan di ruang keluarga itu pak Hanif dan keluarganya memang sedang berkumpul. Iqbal pun sempat berbasa – basi sebentar dengan keluarga pak Hanif, lalu baru dia meletakkan pantatnya diatas karpet yang digelar di ruang keluarga itu. Ayah Mahmudah pun hanya tersenyum – senyum memandangi Iqbal di hadapannya. “ Aku tinggal ke dalam sebentar ya, mas.” Kata Mahmudah. “ Iiiiya... imah.” Sahut Iqbal kaku. Tanpa banyak bicara lagi Mahmudah pun melangkah masuk. Namun tidak lama. Tidak sampai tiga menit gadis itu sudah kembali di ruang keluarga sembari membawa nampan berisi teh hangat. Gadis itu pun segera meletakkan gelas – gelas minuman di hadapan ayahnya dan Iqbal. “ Silahkan di minum, mas.” Ujar Mahmudah sembari ikut duduk bergabung bersama mereka. Ayah Mahmudah tersenyum – senyum sembari mengangguk – anggukkan kepala. “ Terus terang, bapak senang sekali dengan apa yang telah di lakukan nak Iqbal selama ini, nak. Bapak juga senang melihat perubahan sikapmu in. Tidak lagi seperti waktu belum sering kemari. “ ujarnya sembari masih mengangguk – anggukkan kepala. “ Ah....! apa yang saya lakukan ini belum seberapa kok, pak. Masih banyak tantangan dan rintangan yang menghadang saya kok, pak. “ sahut Iqbal malu – malu. Lebih lagi manakala dia menyadari kalau kenginannya melamar Mahmudah tidak dilakukan bersama kedua orang tuanya. Teringat hal itu, mendadak hati laki – laki muda itu jadi terasa ngilu. “ Ya, ya, ya.. bapak tahu. Haris juga sudah bercerita banyak sama bapak. Tapi, apapun halangan dan rintangannya niat baikmu itu harus diteruskan.” “ Akan tetapi pak..... halangan dan rintangan yang tengah saya hadapi ini benar – benar berat pak.” “ Ya, bapak tahu. Tapi, kamu juga harus tabah. Jadikan sholat dan sabar sebagai pertolonganmu sebagaimana yang telah difirmankan Allah.” “ Iya pak, tapi maaf sebelumnya kalau kedatangan saya kali ini tidak bersama kedua orang tua saya.” “ Lho, memangnya kenapa ?” ujar pak Hanif menyembunyikan keheranannya. “ Anu, pak... ehm... kedua orang tua saya tidak mengizinkan saya menikah.” Ucap Iqbal serak. “ Terus?” “ Yahh... saya tetap dengan keputusan saya, pak. Saya akan tetap menikah dengan Imah jika bapak tidak keberatan.” “ oh....? jadi maksud kedatanganmu kemari memang hanya untuk melamar Imah ?” ujar pak Hanif dengan senyum. “ Iya, pak.” Sahut Iqbal penuh harap. “ Sebenarnya sih sebaiknya memang bersama kedua orang tua mu nak Iqbal. Tapi sudahlah. Sebaiknya kita tidak usah membicarakan itu lagi.” Sebelumnya pak Hanif memang sudah menduga. Apalagi tadi Haris sudah bercerita padanya tentang keberatan kedua orang tua Iqbal melamar anaknya. “ Terus, bagaimana pak ? apa lamaran saya diterima ?” “ Tentu saja. Asal Imah tidak keberatan. Menurut kamu sendiri bagaimana Imah ? diterima tidak lamaran nak Iqbal ini ?” Mendapat pertanyaan seperti itu, sudah pasti kedua belah pipi gadis cantik berjilbab biru itu spontan memerah. Buru - buru Mahmudah yang sedari tadi mengikuti pembicaraan ayahnya dan Iqbal menyembunyikan wajahnya dalam – dalam. Walau anak gadisnya tidak mengatakan sesuatu, namun pak Hanif cukup tahu apa yang diinginkan anak gadisnya itu. Untuk itu, dia hanya tertawa – tawa menggoda. “ Ya, ya, ya... bapak terima lamaran nak Iqbal ini.” Ujar Pak Hanif sembari mengangguk – anggukkan kepala. “ Terima kasih pak. Terima kasih..” ujar Iqbal gembira bukan main. “ Sudahlah nak Iqbal. Jangan berterima kasih pada bapak. Berterima kasihlah pada Allah. Sebab Alllah lah yang telah mengatur semua ini.” “ Iiiiya.. pak. Tapi, biar bagaimana pun saya benar – benar mengucapkan terima kasih pada bapak.” Kata Iqbal sembari dalam hatinya tak henti – henti mengucapkan syukur. Ayah Mahmudah hanya tersenyum – senyum saja memandangi Iqbal. Sebaliknya, Iqbal semakin kagum melihat Mahmudah dan keluarganya. Tidak disangka sama sekali kalau pak Hanif yang sebenarnya memiliki kekayaan melimpah itu dapat bertindak sedemikian arif. Sedikitpun tidak membeda – bedakan manusia dari sisi materi. Bahkan kekayaan yang dimiliki Mahmudah dan kedua orang tuanya tidak sampai membuat Mahmudah dan kedua orang tuanya pongah. Sebaliknya, mereka malah apat berlaku zuhud dengan meletakkan kekayaan yang dimilikinya di tangan. Padahal kalau mereka mau, mereka mampu melakukan apa saja dengan kekayaannya itu. Lebih dari itu, sikap Mahmudah sendiri juga sangat sederhana. Walaupun kedua orang tuanya memiliki kekayaan melimpah, namun dia tetap hidup dengan kesederhanaannya. Bahkan untuk pergi pulang kuliah pun hanya dengan menggunakan sepeda motor. Kiranya hai ini sangat berbeda sekali dengan anak – anak orang kaya lainnya yang justru malah berlomba – lomba memamerkan kekayaan orang tuanya. Berpikir sejauh itu tak urung membuat Iqbal diam – diam semakin mengagumi gadis cantik disampinya. Hingga tanpa sadar, Iqbal pun sempat memperhatikan gadis itu seksama. Iqbal sendiri baru menyadari perbuatannya itu manakala terdengar suara batuk – batuk kecil ayah Mahmudah. “ Ehm.... maaf... maaf pak.” Ujar Iqbal gugup bukan main. Seketika itu juga kedua belah pipinya memerah mirip kepiting rebus. Melihat hal itu, ayah Mahmudah malah tertawa – tawa gembira. “ Tidak apa – apa nak Iqbal. Dulu bapak juga pernah muda seperti kamu kok. “ Ujarnya lagi dengan sisa – sisa tawanya. “ Sekali lagi saya benar – benar minta maaf pak. Sss .... saya saya tidak bermaksud kurang ajar pak.” Gelagapan sekali Iqbal dipergoki pak Hanif sedang mencuri pandang anak gadisnya. “ Ya, ya, ya... tidak apa – apa. Bapak maklum kok.” Lalu katanya lagi pada Mahmudah. “ Eh, kamu kok malah masih di sini ? ayo buruan siapkan makan buat calon suamimu in!” “ Iya pak.” Sahut Mahmudah malu – malu, lalu buru – buru ia melangkah masuk ke dapur. Ayah Mahmudah malah tersenyum – senyum sebentar sembari memandangi anak gadisnya, sebentar kemudian pandang mata menggoda pak Hanif itu berganti memandangi Iqbal di hadapannya. Iqbal sendiri tidak berkata – kata lagi. Dia hanya duduk diam sembari tersenyum – senyum malu. Karuan saja hal ini membuat pak Hanif dan istrinya tertawa – tawa menggoda.
Sayap – Sayap Cinta Siang itu terik panas matahari masih memanggang bumi. Agak keburu – buru, Iqbal membelokkan mobilnya menuju halaman rumah Pak Hanif. Keputusannya saat itu benar – benar sudah bulat untuk memenuhi syarat yang diajukan Mahmudah jika dia memang benar – benar ingin memiliki gadis itu. Saat itu suasana depan rumah Pak Hanif terlihat sepi. Sama sekali tidak terdengar suara anak panti yang sedang mengaji. Bisa jadi karena masih siang sehingga Haris dan Mahmudah belum mengajar mengaji. Walau rumah Pak Hanif sangat sederhana, namun tetap terlihat asri banyaknya tetumbuhan yang tumbuh di kanan dan kiri halaman rumah itu. Hanif sendiri tidak begitu memperhatikan keadaan sekitar. Saat itu pikirannya benar – benar telah tegang karena ingin menemui Pak Hanif. Untuk itu, begitu ia memarkirkan mobilnya dihalaman rumah Pak Hanif yang cukup luas itu, iqbal segera turun dari mobilnya. Saat itu terlihat Haris tengah keluar dari dalam rumahnya. Iqbal merasa sikap Haris yang biasanya ramah itu sekarang lain. Kali ini sahabatnya itu memandang sinis. Diam – diam Iqbal sempat tagang juga. Bagaimanapun juga Haris adalah kakak kandung Mahmudah yang sudah semestinya dihormati. “ Bisa aku ketemu sama bapak, Har ?” “ Bisa saja,” sahut Haris singkat. Bagaimanapun juga dia sempat marah tatkala dia melihat Iqbal tengah berpeluk – pelukan mesra dengan Novi di kampusnya. Hal inilah yang membuat Haris sedikit berubah sikap. “ Ayo masuk!” ujar Haris lagi singkat. Tanpa banyak tanya Iqbal segera mengekor Haris masuk kedalam rumahnya. Suasana dalam rumah itu sendiri sepi. Haris lalu mempersilahkan tamunya duduk, lalu ia sendiri segera ke ruang tengah. Namun tidak lama. Selang beberapa saat kemudian, Haris kembali muncul di ruang tamu dengan diikuti ayahnya. “ Assalamu’alaikum, pak ..” sapa Iqbal ramah. “ Wa’alaikumsalam..” sahut Pak Hnif ramah. “Bapak dengar nak Iqbal ini ingin ketemu dengan bapak ? Apa benar, nak Iqbal ?” selanjutnya lagi sembari meletakkan pantatnya di sebuah kursi di ruang tamu. Haris sendiri juga ikut duduk tak jauh dari samping ayahnya. “ I...Iya, Pak, “ sahut Iqbal kaku. “ Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya, nak Iqbal ?” ujar Pak Hanif tetap ramah. “ Ehm... saya .... saya...,” Iqbal menelan ludahnya beberapa kali. Entah kenapa mendadak hatinya tegang bukan main. Kata – kata yang sedari tadi telah disusun sewaktu menuju rumah Pak Hanif mendadak hilang entah kemana. “ Katakan saja terus terang, nak Iqbal. Tidak usah malu – malu. “ “ Iya, pak.” Iqbal masih belum juga mengeluarkan maksud hatinya. Tampak dia hanya menghela nafasnya berulang – ulang. “ Ada apa sebenarnya, nak Iqbal ? tidak usah malu – malu mengatakanya sama bapak, nak Iqbal. Katakan saja terus terang.” Ujar pak Hanif lagi. “ I...iya pak” Iqbal menelan ludah sebentar. Haris yang sedikit banyak tahu maksud kedatangan sahabatnya itu juga ikut memandangi sahabatnya itu seksama. “ Begini pak, ...” lanjut Iqbal kembali membuka suara. “ Terus terang, kedatangan saya kemari ini hanya ingin meminta restu dari bapak...” “ Restu? Restu apa nak Iqbal ?” tanya Pak Hanif belum tahu maksud ucapan tamunya. “ Ssss...saya mencintai Mahmudah, pak....” hanya itu yang lekuar dari mulut Iqbal. Padahal sebenarnya banyak kata – kata yang ingi dia sampaikan pada laki – laki tua dihadapannya itu. Entah mengapa kata – kata yang seharusnya dia katakan malah hanya menjejali pikirannya. “ Mencintai Mahmudah ? lho, memangnya kenapa ? bukankah itu hal wajar ?” “ Iya, pak. Cuma ....” “ Cuma apa ?” “ Tempo hari terus terang, sss.... saya.... saya... sudah mengatakannya pada Imah, pak.” “ Terus bagaimana tanggapan Imah sendiri ?” lanjut Pak Hanif ingin tahu. “ Imah bilang kalau saya harus bicara terlebih dahulu dengan bapak. Apakah kira – kira bapak merestui hubungan saya dengan Imah, pak ?” kata Iqbal mulai mengendalikan diri. “ Oh, itu... ?” Pak Hanif mengangguk – anggukkan kepala. “ Ya, ya, ya... Bapak paham. Tapi kalau menurut bapak sih tidak apa. Asal Imah sendiri juga tidak keberatan. “ “ Menurut Imah sih kalau Bapak tidak keberatan, Imah juga tidak keberatan, pak ?” “ Oh, ya?” “ Iya, pak.” “ Kalau begitu coba panggilkan adikmu kemari, Haris!” kata Pak Hanif lagi pada anak sulungnya. “ Baik, pak” Tanpa banyak cakap Haris segera beranjak bangun dari tempat duduknya, lalu bergegas masuk kedalam ruang tengah. Tidak lama. Tidak sampai lima menit, Haris sudah kembali masuk ke ruang tamu disertai adiknya. Tampak gadis cantik itu malu – malu ketika melihat siapa yang datang. “ Duduk sini Imah! Bapak ingin bicara sebentar” ujar Pak Hanif pada putrinya. “ Iya, pak.” Mahmudah menyahut singkat. Lalu, dia ikut duduk tak jauh dari samping kakaknya. “ Apa benar kamu ingin menjalin hubungan dengan nak Iqbal, Imah ?” tanya Pak Hanif begitu anak gadisnya duduk tak jauh dari hadapannya. Mahmudah tidak langsung menjawab pertanyaan bapaknya. Dia malah menundukkan kepalanya dalam – dalam sembari memandang jari – jari kakinya. “ Lho, kok malah diam ? kata nak Iqbal kamu tidak keberatan menjalin hubungan dengan nak Iqbal asal ayah juga tidak keberatan. Apa benar begitu Imah ?” Entah mengapa mendadak Mahmudah sulit sekali mengeluarkan kata – kata. Dia hanya duduk takzim di hadapan ayahnya. Tapi pada akhirnya dia mau juga menganggukkan kepalanya. Walau anggukan kepala gadis itu sangat pelan, namun cukup untuk dilihat Pak Hanif maupun Iqbal dan Haris. “ Ya.. ya... ya..! ayah ngerti. Tapi, menurut kamu, apa kamu benar – benar ingin menjalin hubungan dengan nak Iqbal, Imah ?” “ Menurut ayah sendiri bagaimana ?” desis Mahmudah lirih nyaris tak terdengar. “ Ah....! kamu ini bagaimana, sih? Orang kamu yang mau menjalani kok malah tanya sama ayah ? kalau kamu tidak keberatan, ayah juga tidak keberatan. Tapi kalau kamu keberatan, yah juga keberatan, Imah.” Iqbal senang bukan main mendengar jawaban Pak Hanif. Diam – diam dia tersenyum – senyum sendiri dalam hati sembari kedua bola matanya yang tajam tak hentinya terus memperhatikan gadis cantik denga jilbabnya yang warna putih dihadapannya. “ Imah sendiri sebenarnya juga belum memutuskan sepenuhnya, ayah.” Kata Mahmudah lirih. “ Maksudmu apa sebenarnya, Imah ? kok, kamu bilang masih belum memutuskan sepenuhnya ?” “ Iya ayah, sebenarnya Imah memang belum sepenuhnya memutuskannya, ayah. Tapi justru mas Iqballah yang seharusnya memutuskan” “ Lho, bagaimana ini? Kok ayah malah jadi bingung ?” ujar pak Hanif sebentar memandangi anak gadisnya, sebentar kemudian memandangi tamunya. “ Begini lho, pak. Tempo hari Iqbal memang bilang sama Imah kalau dia itu mencintai Imah. Terus Imah bilang kalau dia hanya menginginkan keseriusan, jika memang Iqbal benar – benar mencintai Imah, maka Imah menghendaki kalau Iqbal bicara dulu sama ayah. Jika ayah tidak keberatan, Imah juga tidak keberatan ayah.” Kata Haris menjelaskan perjanjian diantara Iqbal dan adiknya. “ Oh, begitu ceritanya. Ya, ya, ya... ayah paham sekarang. Dan sebagai bukti keseriusan nak Iqbal mencintai Imah lantas nak Iqbal bermaksud bicara sama bapak. Begitu nak Iqbal ?” ujar Pak Hanif sembari mengangguk – anggukkan kepalanya. “ Benar sekali, pak. Saya memang sangat mencintai Imah, pak. Dan sebagai bukti keseriusan saya mencintai Imah, maka saya memberanikan diri untuk bicara sama bapak.” Sambung Iqbal penuh semangat. “ Terus, kamu sendiri bagaimana Imah ?” “ Tunggu ayah! Terus terang Imah juga senang jika ayah tidak keberatan merestui hubungan Imah dengan mas Iqbal, namun mas Iqbal juga harus ingat. Walau ayah Imah tidak keberatan, namun Imah juga belum tentu akan menerima mas Iqbal begitu saja sebelum mas Iqbal mengerti latar belakang Imah maupun latar belakang keluarga Imah. Mas Iqbal masih ingat dengan syarat yang satu ini kan ?” kata Mahmudah mencoba mengingatkan Iqbal. “ Ya, ya, ya.. aku mengerti. Dan Insya Allah mulai sekarang juga aku akan mencoba mengerti latar belakang diri Imah dan juga keluarga Imah.” “ Mas Iqbal sendiri tidak bertanya kenapa Imah mengajukan syarat yang kedengarannya sepele ini, mas ?” tanya Mahmudah disertai pandang matanya yang tajam penuh selidik. “ Tidak. Memangnya kenapa ?” Mahmudah tersenyum. Manis sekali di mata Iqbal. “ Tapi, sebelumnya saya minta maaf, mas Iqbal.” “ Tidak apa – apa katakan saja.” “ Begini mas, sebab menurut sepengetahuan Imah, selama ini pola kehidupan mas Iqbal itu maaf.... masih berpola hidup jahiliyah, mas” Iqbal terkejut. Pak Hanif juga terkejut. Cuma Haris saja yang sedikit banyak memang tahu syarat – syarat yang diajukan adiknya kepada Iqbal. “ Selagi mas Iqbal belum juga meninggalkan pola hidup jahiliyah mas Iqbal, Imah keberatan menerima mas Iqbal. Untuk itulah, Imah ingin mas Iqbal lebih mengenal diri Imah maupun keluarga Imah lebih dalam lagi mas.” “ Wah ....! bagus. Benar sekali kamu Imah. Ayah sependapat dengan syaratmu itu. Tapi, bagaimana dengan nak Iqbal tidak keberatan memenuhi syarat yang diajukan anak bapak ?” “ Seperti yang tadi saya katakan, pak. Insya Allah mulai hari ini juga saya akan berusaha mengenal diri Imah maupun keluarga Imah, pak.” “ Terima kasih, mas. Jika mas Iqbal mau menuruti permintaan Imah. Hal ini semata – mata hanya untuk kebaikan diri mas Iqbal sendiri maupun kebaikan hubungan kita kelak jika mas Iqbal memang benar – benar menginginkan Imah, mas.” “ Ya, ya, ya... aku paham Imah. Dan aku juga sangat senang sekali dengan keterus teranganmu.” “ Dan satu hal lagi yang patut nak Iqbal ingat !” sambung pak Hanif lagi. “ Apa itu pak ?” “ Jika memang nak Iqbal ini sudah cukup tahu tentang seluk – beluk keluarga kami, dan Imah sendiri juga sudah dapat menerima nak Iqbal sepenuhnya, bapak berharap untuk menghindari fitnah, apa salahnya kalau nak Iqbal harus cepat – cepat melamar anak bapak. Nak Iqbal tidak keberatan kan ?” “ Sama sekali tidak, pak. Ssss.... saya malah ingin berusaha secepatnya melamar anak bapak.” Sahut Iqbal penuh semangat. “ Bagus...! bagus...! memang itulah yang bapak inginkan nak.” Ujar pak Hanif sembari mrngangguk – anggukkan kepalanya senang. Hari – hari berikutnya, Iqbal benar – benar membuktikan ucapannya. Sejak kunjungannya yang terakhir kali ke rumah pak Hanif, maka sejak itu dia sering datang berkunjung ke rumah pak Hanif. Keinginannya saat itu bukan hanya semata – mata ingin bertemu kekasih hatinya semata, melainkan justru ingin mengerti tetang latar belakan kehidupan kekasihnya dan keluarga kekasihnya. Walau sebenarnya Mahmudah memang belum tapat kalau dikatakan kekasihnya, namun entah mengapa Iqbal merasa kalau Mahmudah benar – benar telah menjadi kekasihnya. Hanya belum dapat menerima sepenuhnya. Dan Imah baru akan dapat menerima Iqbal sepenuhnya jika dia benar – benar tahu tentang latar belakang kekasihnya maupun diri keluarga kekasihnya. Belum sampai satu bulan Iqbal sedikit banyak mulai dapat mengerti tentang latar belakang keluarga pak Hanif beserta anak – anaknya. Tak disangka sama sekali kalau pola hidup keluarga pak Hanif benar – benar terasa sejuk jika dibandingkan dengan latar belakang pola hidup keluarganya sendiri yang cenderung materialistis. Apa – apa diukur dengan kacamata materi. Sedikit pun tidak pernah berpikir untuk kebersamaan. Baik untuk diri keluarga Iqbal sendiri. Lebih lagi untuk kepentingan masyarakat. Sama sekali tidak. Jika pola hidup keluarganya dengan pola hidup keluarga pak Hanif dibandingkan, maka bisa diibaratkan langit dan bumi. Pak Hanif dan keluarganya tidak pernah memandang tolok ukur krhidupan ini dengan material semata. Pak Hanif dan keluarganya malah sering mengatakan kalau seluruh hidupnya hanya untuk Allah. Baik amal ibadahnya, shalatnya, ilmunya, kekayaannya, maupun yang lain – lainnya hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Tidak untuk lainnya. Semua fasilitas maupun kekayaannya benar – benar untuk Allah. Pak Hanif juga sering mengatakan kalau ibarat pohon janganlah menjadi pohon yang tidak berbuah, yang hanya akan menghidupi dirinya sendiri. Hal ini berarti egois dan individualis. Melainkan jadilah pohon yang tumbuh lebat dengan buah – buahnya yang banyak. Selain dapat menghidupi diri sendiri, juga dapat bermanfaat bagi orang banyak. Dalam hal ini, Iqbal dapat mengambil pelajaran kalau sebenarnya sebagai seorang manusia itu tidak hanya memikirkan diri sendiri. Melainkan juga harus memikirkan saudara – saudaranya, tetangga – tetangganya, maupun masyarakat luas pada umumnya. “ Dan ingat nak Iqbal, janganlah setengah – setengah kalau menjadi orang islam. Kamu harus bisa menentukan pilihan. Mau terus menjadi masyarakat yang jahili atau islami !” Kata – kata itulah yang seringn diucapkan pak Hanif. Diam – diam Iqbal pun makin terpesona melihat cara pandang hidup keluarga pak Hanif. Dan tanpa disadarinya Iqbal pun mulai dapat mengubah pola hidup yang selama ini digeluti. Melihat perubahan ini Mahmudah maupun pak Hanif senang sekali melihatnya. Kesadaran Iqbal sendiri bukan semata – mata mencintai Mahmudah. Melainkan kesadaran itu datangnya justru dari dirinya sendiri. Entah mengapa dia seperti tercabut dari kubangan lumpur hitam yang selama ini digelutinya. Dan sejak pola hidup Iqbal ini berubah, hati laki – laki itupun makin tenang. Hidup ini seolah ringan. Tanpa beban. Ibarat burung terbang lepas di angkasa yang hanya memiliki pertanggung jawaban semata kepada Allah. Hebatnya lagi, walau Iqbal sering datang berkunjung kerumah pak Hanif, namun belum sekalipun Mahmudah bersedia untuk diajak jalan – jalan bersamanya. Mula – mula Iqbal memang sempat marah. Namun ketika mendapat penjelasan dari Mahmudah maupun Haris yang selalu menemani adiknya itu , Iqbal baru sadar. Ternyata Mahmudah sangat menjaga kesucian dan kehormatannya sebagai seorang wanita. Jangankan diajak jalan – jalan, dipegang tangannya pun Mahmudah keberatan. Hal ini semata – mata karena Iqbal bukan atau belum menjadi suaminya. Inilah alasan yang selalu dikemukakan Mahmudah maupun Haris. Meski demikian, tekad Iqbal untuk memiliki Mahmudah bukan malah surut sampai di situ. Dia justru semakin terpacu untuk memperbaiki diri begitu melihat kesejukan cinta kasih kekasihnya maupun cinta kasih keluarga kekasihnya. “ Bapak senang sekali padamu nak Iqbal. Ternyata nak Iqbal benar – benar dapat mengubah diri nak Iqbal. “ ujar pak Hanif ketika mereka sedang berkumpul di ruang keluarga sembari duduk lesehan. “ Apa hal ini berarti saya sudah bisa dianggap cukup mengerti latar belakang keluarga pak Hanif ?” balas Iqbal sembari menyembunyikan senyum. Pak Hanif sendiri juga sangat maklum apa yang dimaksudkan anak muda itu. “ Waah...! kalau itu terus terang bapak tidak bisa jawab nak Iqbal. Tapi justru Imah lah yang seharusnya menjawab.” Sembari berkata begitu pak Hanif sempat melirik anaknya yang mendadak tersipu malu. “ Kalau begitu, kenapa tidak tanyakan saja langsung sama anaknya, nak Iqbal.” Sambung pak Hanif setengah menggoda. “ Iya, pak. Saya sebaiknya memang harus menanyakan saja langsung sama Imah.” Kata Iqbal lalu kembali dia bertanya pada gadis berjilbab yang duduk tak jauh dari samping ibunya. “ Imah, seperti yang sudah Imah dengar. Apa menurut kamu aku sudah bisa dianggap cukup mengerti tentang latar belakang Imah dan keluarga Imah ?“ Iqbal lembut sekali menanyakan hal itu pada kekasihnya. Mahmudah tersenyum malu – malu. Tapi hanya sebentar. Setelah itu buru – buru dia menundukkan kepalanya. “ Kenapa diam Imah ? apa hal ini berarti aku belum dapat diterima? “ tanya Iqbal was – was. Mahmudah sendiri malah makin menyembunyikan rona merah di pipinya dalam – dalam. Pak Hanif pun lalu tertawa. “ Ah....! nak Iqbal ini kayak tidak tahu anak gadis saja.” “ Maksud bapak ? apakah Imah mulai dapat menerima saya, pak ?” tanya Iqbal harap – harap cemas. “ Begitulah. Makanya untuk menghindari fitnah, bapak harap sebaiknya nak Iqbal dan kedua orang tua nak Iqbal cepat – cepat datang melamar anak bapak. Bukankah begitu kan, Imah ?” Lagi – lagi Mahmudah hanya bungkam. Namun sebentar dia sempat memperhatikan ayahnya. Tapi hanya sebentar. Setelah itu buru – buru dia menyembunyikan wajahnya dalam pelukan ibunya. Pak Hanif pun tertawa – tawa senang. “ Sudahlah ! turuti saja saran bapak tadi. Toh kalau Imah menolak pasti dari tadi juga sudah bicara.” “ Iya pak. Insya Allah secepatnya saya dan keluarga saya akan datang melamar Imah.” Putus Iqbal akhirnya sarat kegembiraan. “ Ya, ya, ya... bagus itu !” ujar pak Hanif sembari sesekali menggoda anak gadisnya. Mendapati godaan ayahnya, Mahmudah sendiri makin membenamkan wajahnya yang merona merah ke dalam pelukan ibunya. Meski demikian, dari sudut bibirnya gadis itu sempat menyunggingkan seulas senyum manis. Matahari sore itu mulai tenggelam di kaki langit sebelah barat. Sinarnya yang berwarna merah tembaga seolah ingin menjilat angkasa. Siluet hitam serombongan burung tampak melintas di balik cahaya warna merah tembaga. Sore itu suasana di seputar rumah pak Hanif tampak lenggang. Yang terdengar hanya suara riuh rendah beberapa orang anak kecil yang tengah bermain sepeda di sebuah jalan dekat rumah pak Hanif. Pada saat itu pula tampak Iqbal tengah mengemudikan mobilnya pelan menyusuri jalan itu. Sesaat Iqbal sempat memperhatikan anak keci yang sedang bermain sepeda itu, lalu kembali meneruskan laju mobilnya menuju ke rumah pak Hanif. Selang beberapa saat kemudian, dia sampai di depan rumah sederhana pak Hanif. Namun entah mengapa mendadak Iqbal ragu – ragu. Walau dia sudah beberapa kali berkunjung ke rumah itu, entah mengapa mendadak hatinya resah. Hal ini semata – mata kedatangannya kali ini bukan untuk sekedar mengenal latar belakang keluarga itu, melainkan justru ingin melamar anak gadisnya sang empunya rumah itu. Sebisa mungkin Iqbal mencoba kembali bersikap tenang. Meskipun dia belum dapat menenangkan hatinya. Buru – buru dia memarkir mobilnya tak jauh dari teras rumah itu. Sejurus kemudian Iqbal melangkah turun dari mobilnya dan terus berjalan mendekati rumah Mahmudah. “ Assalamu’alaikum...” ujar Iqbal sesampainya di depan rumah gadisnya. “ Wa’alaikum salam...” Terdengar sahutan seseorang yang sangat dikenalnya. Tidak lain adalah ayah Mahmudah. Begitu melihat kemunculan laki – laki paruh baya yang masih menampakkan sisa – sisa ketampanannya di waktu muda itu, Iqbal pun segera mendekat dan menyalaminya dengan takzim sembari mencium tangan laki – laki tua itu. “ Ayo, silahkan masuk.” Ujar pak Hanif ramah. “ Iya, pak.” Sopan sekali Iqbal mengekor di belakang pak Hanif. Seperti biasa pak Hanif langsung mengajak tamunya yang sudah tidak asing itu ke dalam ruang keluarga. Kebetulan di ruang keluarga itu pak Hanif dan keluarganya memang sedang berkumpul. Iqbal pun sempat berbasa – basi sebentar dengan keluarga pak Hanif, lalu baru dia meletakkan pantatnya diatas karpet yang digelar di ruang keluarga itu. Ayah Mahmudah pun hanya tersenyum – senyum memandangi Iqbal di hadapannya. “ Aku tinggal ke dalam sebentar ya, mas.” Kata Mahmudah. “ Iiiiya... imah.” Sahut Iqbal kaku. Tanpa banyak bicara lagi Mahmudah pun melangkah masuk. Namun tidak lama. Tidak sampai tiga menit gadis itu sudah kembali di ruang keluarga sembari membawa nampan berisi teh hangat. Gadis itu pun segera meletakkan gelas – gelas minuman di hadapan ayahnya dan Iqbal. “ Silahkan di minum, mas.” Ujar Mahmudah sembari ikut duduk bergabung bersama mereka. Ayah Mahmudah tersenyum – senyum sembari mengangguk – anggukkan kepala. “ Terus terang, bapak senang sekali dengan apa yang telah di lakukan nak Iqbal selama ini, nak. Bapak juga senang melihat perubahan sikapmu in. Tidak lagi seperti waktu belum sering kemari. “ ujarnya sembari masih mengangguk – anggukkan kepala. “ Ah....! apa yang saya lakukan ini belum seberapa kok, pak. Masih banyak tantangan dan rintangan yang menghadang saya kok, pak. “ sahut Iqbal malu – malu. Lebih lagi manakala dia menyadari kalau kenginannya melamar Mahmudah tidak dilakukan bersama kedua orang tuanya. Teringat hal itu, mendadak hati laki – laki muda itu jadi terasa ngilu. “ Ya, ya, ya.. bapak tahu. Haris juga sudah bercerita banyak sama bapak. Tapi, apapun halangan dan rintangannya niat baikmu itu harus diteruskan.” “ Akan tetapi pak..... halangan dan rintangan yang tengah saya hadapi ini benar – benar berat pak.” “ Ya, bapak tahu. Tapi, kamu juga harus tabah. Jadikan sholat dan sabar sebagai pertolonganmu sebagaimana yang telah difirmankan Allah.” “ Iya pak, tapi maaf sebelumnya kalau kedatangan saya kali ini tidak bersama kedua orang tua saya.” “ Lho, memangnya kenapa ?” ujar pak Hanif menyembunyikan keheranannya. “ Anu, pak... ehm... kedua orang tua saya tidak mengizinkan saya menikah.” Ucap Iqbal serak. “ Terus?” “ Yahh... saya tetap dengan keputusan saya, pak. Saya akan tetap menikah dengan Imah jika bapak tidak keberatan.” “ oh....? jadi maksud kedatanganmu kemari memang hanya untuk melamar Imah ?” ujar pak Hanif dengan senyum. “ Iya, pak.” Sahut Iqbal penuh harap. “ Sebenarnya sih sebaiknya memang bersama kedua orang tua mu nak Iqbal. Tapi sudahlah. Sebaiknya kita tidak usah membicarakan itu lagi.” Sebelumnya pak Hanif memang sudah menduga. Apalagi tadi Haris sudah bercerita padanya tentang keberatan kedua orang tua Iqbal melamar anaknya. “ Terus, bagaimana pak ? apa lamaran saya diterima ?” “ Tentu saja. Asal Imah tidak keberatan. Menurut kamu sendiri bagaimana Imah ? diterima tidak lamaran nak Iqbal ini ?” Mendapat pertanyaan seperti itu, sudah pasti kedua belah pipi gadis cantik berjilbab biru itu spontan memerah. Buru - buru Mahmudah yang sedari tadi mengikuti pembicaraan ayahnya dan Iqbal menyembunyikan wajahnya dalam – dalam. Walau anak gadisnya tidak mengatakan sesuatu, namun pak Hanif cukup tahu apa yang diinginkan anak gadisnya itu. Untuk itu, dia hanya tertawa – tawa menggoda. “ Ya, ya, ya... bapak terima lamaran nak Iqbal ini.” Ujar Pak Hanif sembari mengangguk – anggukkan kepala. “ Terima kasih pak. Terima kasih..” ujar Iqbal gembira bukan main. “ Sudahlah nak Iqbal. Jangan berterima kasih pada bapak. Berterima kasihlah pada Allah. Sebab Alllah lah yang telah mengatur semua ini.” “ Iiiiya.. pak. Tapi, biar bagaimana pun saya benar – benar mengucapkan terima kasih pada bapak.” Kata Iqbal sembari dalam hatinya tak henti – henti mengucapkan syukur. Ayah Mahmudah hanya tersenyum – senyum saja memandangi Iqbal. Sebaliknya, Iqbal semakin kagum melihat Mahmudah dan keluarganya. Tidak disangka sama sekali kalau pak Hanif yang sebenarnya memiliki kekayaan melimpah itu dapat bertindak sedemikian arif. Sedikitpun tidak membeda – bedakan manusia dari sisi materi. Bahkan kekayaan yang dimiliki Mahmudah dan kedua orang tuanya tidak sampai membuat Mahmudah dan kedua orang tuanya pongah. Sebaliknya, mereka malah apat berlaku zuhud dengan meletakkan kekayaan yang dimilikinya di tangan. Padahal kalau mereka mau, mereka mampu melakukan apa saja dengan kekayaannya itu. Lebih dari itu, sikap Mahmudah sendiri juga sangat sederhana. Walaupun kedua orang tuanya memiliki kekayaan melimpah, namun dia tetap hidup dengan kesederhanaannya. Bahkan untuk pergi pulang kuliah pun hanya dengan menggunakan sepeda motor. Kiranya hai ini sangat berbeda sekali dengan anak – anak orang kaya lainnya yang justru malah berlomba – lomba memamerkan kekayaan orang tuanya. Berpikir sejauh itu tak urung membuat Iqbal diam – diam semakin mengagumi gadis cantik disampinya. Hingga tanpa sadar, Iqbal pun sempat memperhatikan gadis itu seksama. Iqbal sendiri baru menyadari perbuatannya itu manakala terdengar suara batuk – batuk kecil ayah Mahmudah. “ Ehm.... maaf... maaf pak.” Ujar Iqbal gugup bukan main. Seketika itu juga kedua belah pipinya memerah mirip kepiting rebus. Melihat hal itu, ayah Mahmudah malah tertawa – tawa gembira. “ Tidak apa – apa nak Iqbal. Dulu bapak juga pernah muda seperti kamu kok. “ Ujarnya lagi dengan sisa – sisa tawanya. “ Sekali lagi saya benar – benar minta maaf pak. Sss .... saya saya tidak bermaksud kurang ajar pak.” Gelagapan sekali Iqbal dipergoki pak Hanif sedang mencuri pandang anak gadisnya. “ Ya, ya, ya... tidak apa – apa. Bapak maklum kok.” Lalu katanya lagi pada Mahmudah. “ Eh, kamu kok malah masih di sini ? ayo buruan siapkan makan buat calon suamimu in!” “ Iya pak.” Sahut Mahmudah malu – malu, lalu buru – buru ia melangkah masuk ke dapur. Ayah Mahmudah malah tersenyum – senyum sebentar sembari memandangi anak gadisnya, sebentar kemudian pandang mata menggoda pak Hanif itu berganti memandangi Iqbal di hadapannya. Iqbal sendiri tidak berkata – kata lagi. Dia hanya duduk diam sembari tersenyum – senyum malu. Karuan saja hal ini membuat pak Hanif dan istrinya tertawa – tawa menggoda.